Senin, 07 Maret 2022

Budaya Baru

 





Budaya Salam di Masa Pandemi

Mario Valentinus Tanik

       



Orang Asia umumnya dikenal dan dihormati karena budaya sopan santun. Karakter kuat kesantunan ini biasanya terlihat dari cara mereka memberi salam. Dari Jepang tempat matahari terbit, hingga negeri seribu pulau Indonesia, cara memberi salam menyekolahkan kesantunan.

Di Indonesia budaya yang paling dijunjung tinggi sebagai salah satu rasa memberi hormat pada siapa saja adalah budaya salam. Dari generasi ke generasi, etika salam sudah dilestarikan, karena budaya Indonesia sangat menjunjung tinggi persaudaraan-kekeluargaan. Di Indonesia,  kebiasaan memberikan salam merupakan suatu hal yang melekat pada masing-masing pribadi dimana saat bertemu orang yang lebih tua ataupun teman sebaya dan bahkan orang asing sekalipun, memberikan salam seperti sebuah kewajiban.

Pada umumnya memberikan salam merupakan ciri yang menunjukkan kepedulian antar-pribadi dalam hidup bermasyarakat. Selain menjadi karakter peduli antar-pribadi, budaya salam juga menunjukkan rasa hormat kepada orang lain. Rasa hormat ini, memang jika dievaluasi secara singkat, agaknya mudah. Akan tetapi, tidak semua orang di bumi ini meyakini bahwa budaya salaman memberi dampak yang cukup melebar dari sekadar sebuah interaksi awal. Ketika orang yang sama sekali asing menghampiri lingkungan kita, kadang ada rasa curiga, minder, takut, dan enggan menyapa atau mengulurkan tangan. Hal ini, hemat saya, semakin terlihat di masa pandemi ini.

Kenyataan bahwa budaya salaman mulai meredup gamblang terlihat di masa pandemi. Ketika pandemi menekan laju seluruh lini kehidupan manusia di seluruh pelosok bumi ini, budaya salaman pun ikut dikekang. Salaman serasa menjadi hal tabu. Anda salaman, Anda siap-siap terinfeksi virus mematikan. Jangankan salaman, berkerumun dengan jarak yang tak seharusnya, seseorang dengan sendirinya akan dihantui ketakutan berkepanjangan – ada semacam sistem kontrol yang secara otomatis dikelola dalam pikiran. Semenjak virus korona melakukan manuver dari Wuhan, Provinsi Hubei, China, budaya salaman mulai dihilangkan. Tak ada lagi rangkulan, pelukan, berjabatan tangan, apalagi menyapa sambil terbahak-bahak. Hal-hal demikian pelan-pelan dihilangkan dan wajib ditiadakan.


Di masa sekarang, budaya salaman sendiri menjadi suatu hal yang menakutkan bagi semua orang. Saat ini berjabatan tangan mulai dihindari karena diyakini bisa menularkan virus corona. Ketika budaya salaman dengan berjabatan tangan dan merangkul itu dihilangkan karena alasan kesehatan, pola komunikasi santun pun ikut luntur dengan sendirinya. Ketika semua diberi jarak, ada rasa anti-sosial yang terlihat. Memberi jarak salaman sama halnya dengan tak memberi salam. Dengan kata lain, menolak berjabatan tangan atau merangkul sama artinya dengan menolak keakraban. Dari upaya penolakan ini, budaya sopan santun bisa jadi ikut “dinodai.”

Budaya salaman tentunya tak hanya luntur dalam ilustrasi percakapan atau perkenalan biasa. Jika saya masuk dalam kelompok tertentu, tentu hal pertama yang saya dapatkan sebagai ungkapan penerimaan adalah salaman. Di sana, saya tak hanya diterima sebagai sebuah anggota baru dalam kelompok tersebut, tetapi juga ada nilai pendidikan sopan santun yang saya diterima. Edukasi kesantunan ini kemudian bisa menjadi pengalaman berharga bagi saya untuk meneruskan hal yang kepada orang lain.

Di lingkup hidup keagamaan, budaya salaman juga hampir tak lagi diminati. Saat sesi tertentu dalam Perayaan Ekaristi, umat Kristiani yang semulanya merangkul dan berjabatan tangan, kini semuanya diganti dengan senyuman. Hal ini membuat karakter solidaritas sebagai bagian dari kesatuan Gereja ditangguhkan untuk sementara. Orang asing dalam Gereja pun bisa jadi muncul hanya karena kebiasaan salaman ini diberi jarak. Mengenai ini, Gereja tentunya memiliki pedomaan khusus terkait tata gerak liturgi saat menyampaikan salam damai. Dalam Dokumen Konstitusi Suci Sacrosanctum Concillium budaya salaman dilestarikan dengan pembiasaan mengulurkan tangan. Kekuatan-kekuatan bunyi dokumen ini, hemat saya tetap dipenjara oleh protokol penanganan Covid-19, yakni menjaga jarak.

Lalu apa yang bisa dibuat terkait pelestarian budaya salaman ini? Hemat saya, pendidikan budaya salaman melalui literasi mampu menyadarkan setiap orang mengenai pentingnya salaman. Karakter kesenatunan ini sejatinya perlu dijaga agar tak luntur hanya karena munculnya pandemi Covid-19. Dalam budaya literasi, seseorang bisa membagikan cara-cara bersalaman, nilai-nilai positif dari kebiasaan salaman, dan berusaha memberi edukasi terkait masalah-malsalah yang muncul ketika budaya salaman ini dihilangkan. Budaya literasi saat menjadi salah satu sarana potensial bagaimana pesan dan pendidikan tetap disalurkan di masa pandemi Covid-19.

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aku Bukan dari Rahimnya

  "  Aku Bukan dari Rahimnya"  Valentinus Mario  Di dalam kegelapan malam yang sunyi, Aku berdiri dengan hati yang hampa, Bukan da...