Budaya Salam di Masa Pandemi
Mario Valentinus
Tanik
Orang Asia umumnya dikenal dan dihormati karena budaya sopan santun.
Karakter kuat kesantunan ini biasanya terlihat dari cara mereka memberi salam.
Dari Jepang tempat matahari terbit, hingga negeri seribu pulau Indonesia, cara
memberi salam menyekolahkan kesantunan.
Di Indonesia budaya yang paling dijunjung tinggi sebagai salah satu rasa memberi
hormat pada siapa saja adalah budaya salam. Dari generasi ke generasi, etika salam
sudah dilestarikan, karena budaya Indonesia sangat menjunjung tinggi
persaudaraan-kekeluargaan. Di Indonesia,
kebiasaan memberikan salam merupakan suatu hal yang melekat pada
masing-masing pribadi dimana saat bertemu orang yang lebih tua ataupun teman
sebaya dan bahkan orang asing sekalipun, memberikan salam seperti sebuah
kewajiban.
Pada umumnya memberikan salam merupakan ciri yang menunjukkan kepedulian
antar-pribadi dalam hidup bermasyarakat. Selain menjadi karakter peduli
antar-pribadi, budaya salam juga menunjukkan rasa hormat kepada orang lain.
Rasa hormat ini, memang jika dievaluasi secara singkat, agaknya mudah. Akan
tetapi, tidak semua orang di bumi ini meyakini bahwa budaya salaman memberi
dampak yang cukup melebar dari sekadar sebuah interaksi awal. Ketika orang yang
sama sekali asing menghampiri lingkungan kita, kadang ada rasa curiga, minder,
takut, dan enggan menyapa atau mengulurkan tangan. Hal ini, hemat saya, semakin
terlihat di masa pandemi ini.
Kenyataan bahwa budaya salaman mulai meredup gamblang terlihat di masa
pandemi. Ketika pandemi menekan laju seluruh lini kehidupan manusia di seluruh
pelosok bumi ini, budaya salaman pun ikut dikekang. Salaman serasa menjadi hal
tabu. Anda salaman, Anda siap-siap terinfeksi virus mematikan. Jangankan
salaman, berkerumun dengan jarak yang tak seharusnya, seseorang dengan
sendirinya akan dihantui ketakutan berkepanjangan – ada semacam sistem kontrol
yang secara otomatis dikelola dalam pikiran. Semenjak virus korona melakukan
manuver dari Wuhan, Provinsi Hubei, China, budaya salaman mulai dihilangkan.
Tak ada lagi rangkulan, pelukan, berjabatan tangan, apalagi menyapa sambil
terbahak-bahak. Hal-hal demikian pelan-pelan dihilangkan dan wajib ditiadakan.
Di masa sekarang, budaya salaman sendiri menjadi suatu
hal yang menakutkan bagi semua orang. Saat ini berjabatan tangan mulai
dihindari karena diyakini bisa menularkan virus
corona. Ketika budaya salaman dengan berjabatan tangan dan merangkul itu
dihilangkan karena alasan kesehatan, pola komunikasi santun pun ikut luntur
dengan sendirinya. Ketika semua diberi jarak, ada rasa anti-sosial yang
terlihat. Memberi jarak salaman sama halnya dengan tak memberi salam. Dengan
kata lain, menolak berjabatan tangan atau merangkul sama artinya dengan menolak
keakraban. Dari upaya penolakan ini, budaya sopan santun bisa jadi ikut
“dinodai.”
Budaya salaman tentunya tak hanya luntur dalam ilustrasi percakapan atau
perkenalan biasa. Jika saya masuk dalam kelompok tertentu, tentu hal pertama
yang saya dapatkan sebagai ungkapan penerimaan adalah salaman. Di sana, saya
tak hanya diterima sebagai sebuah anggota baru dalam kelompok tersebut, tetapi
juga ada nilai pendidikan sopan santun yang saya diterima. Edukasi kesantunan
ini kemudian bisa menjadi pengalaman berharga bagi saya untuk meneruskan hal
yang kepada orang lain.
Di lingkup hidup keagamaan, budaya salaman juga hampir tak lagi diminati.
Saat sesi tertentu dalam Perayaan Ekaristi, umat Kristiani yang semulanya
merangkul dan berjabatan tangan, kini semuanya diganti dengan senyuman. Hal ini
membuat karakter solidaritas sebagai bagian dari kesatuan Gereja ditangguhkan
untuk sementara. Orang asing dalam Gereja pun bisa jadi muncul hanya karena
kebiasaan salaman ini diberi jarak. Mengenai ini, Gereja tentunya memiliki
pedomaan khusus terkait tata gerak liturgi saat menyampaikan salam damai. Dalam
Dokumen Konstitusi Suci Sacrosanctum
Concillium budaya salaman dilestarikan dengan pembiasaan mengulurkan
tangan. Kekuatan-kekuatan bunyi dokumen ini, hemat saya tetap dipenjara oleh
protokol penanganan Covid-19, yakni menjaga jarak.
Lalu apa yang bisa dibuat terkait pelestarian budaya salaman ini? Hemat
saya, pendidikan budaya salaman melalui literasi mampu menyadarkan setiap orang
mengenai pentingnya salaman. Karakter kesenatunan ini sejatinya perlu dijaga
agar tak luntur hanya karena munculnya pandemi Covid-19. Dalam budaya literasi,
seseorang bisa membagikan cara-cara bersalaman, nilai-nilai positif dari
kebiasaan salaman, dan berusaha memberi edukasi terkait masalah-malsalah yang
muncul ketika budaya salaman ini dihilangkan. Budaya literasi saat menjadi
salah satu sarana potensial bagaimana pesan dan pendidikan tetap disalurkan di
masa pandemi Covid-19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar